Kisah Keluarga
Ketua Umum PAN ini lahir dan dibesarkan dalam keluarga aktivis Muhammadiyah. Sebuah keluarga yang sangat taat menjalankan agamanya. Suhud Rais, ayahnya, adalah lulusan Mu�allimin Muhammadiyah dan semasa hidupnya bekerja sebagai pegawai kantor Departemen Agama. Sang Ayah juga merupakan anggota Dewan Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah cabang Surakarta.
Sedangkan ibunya, Sudalmiyah, aktif dalam kegiatan organisasi kewanitaan Muhammadiyah, Aisyiyah. Sang Ibu, adalah alumni Hogere Inlandsche Kweek�school [HIK] Muhammadiyah, kemudian menjadi aktivis Aisyiyah dan pernah menjabat sebagai ketuanya di Surakarta selama dua puluh tahun.
Sudalmiyah juga dikenal sebagai seorang guru yang ulet. Ia mengajar di Sekolah Guru Kepandaian Putri [SGKP] Negeri dan Sekolah Bidan Aisyiyah Surakarta. Karena prestasinya di dunia pendidikan, pada tahun 1985, Sudalmiyah mendapat gelar Ibu Teladan se-Jawa Tengah. Sang Ibu juga aktif di partai politik Masyumi ketika masa jayanya pada tahun 1950-an. Kakek Amien Rais, Wiryo Soedarmo, adalah salah seorang pendiri Muhammadiyah di Gombong, Jawa Tengah. Jadi, Amien Rais dilahirkan dari keluarga yang sangat kental Muhammadiyahnya.
Amien merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Kakaknya Fatimah dan empat adiknya Abdul Rozak, Achmad Dahlan, Siti Aisyah dan Siti Asyiah. Mereka tumbuh dan dibesarkan di kampung Kepatihan Kulon. Sejak kecil mereka sudah dilatih disiplin oleh sang ibu. Bila Amien kecil melanggar, sang ibu tidak segan-segan menghukumnya.
Mereka harus bangun pukul 04.00 WIB setiap pagi. Caranya dengan meletakkan jam weker di dekat tempat tidur. Dan ketika bangun, mereka diminta untuk mengucapkan �ashalatu khairum minan naum� dengan suara keras sehingga terdengar sang ibu. Sang ibu biasanya memberikan imbalan berupa uang 50 sen. Uang tersebut lalu mereka tabung, untuk dibelikan baju baru menjelang lebaran.
Walaupun tegas, tetapi sang ibu tidak pernah memaksakan kehen-daknya. Anak-anaknya dibiarkan tumbuh secara alami, sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Hanya saja, pesan sang ibu yang tak pernah putus adalah mengingatkan mereka bahwa hakikat hidup adalah ibadah. Yang terus diingat Amien, ketika ibunya berkata, �Ingat Mien, berkemah pun ibadah.�
Dalam berbagai kesempatan, Amien secara terus terang mengakui bahwa ibunyalah yang sangat mempengaruhi karakternya yang lugas tanpa basa-basi. Amien menempatkan ibunya sebagai konsultan dan tempat pelipur lara. Manakala ia menghadapi situasi atau persoalan pelik, ia selalu pulang ke Solo menemui sang ibu untuk meminta pendapatnya, atau sekadar untuk menghindari kejaran wartawan yang pantang ia tolak. Setiap Idul Fitri ia beserta semua saudaranya juga berkumpul di rumah sang ibu. Menurut Amien, hingga usia 80-an, ketegasan dan kejernihan berpikir Ibunya masih tetap seperti dulu. Ibunda tersayang itu wafat hari Jumat, 14 September 2001 di Solo, dalam usia 89 tahun.
Sewaktu masih duduk di bangku SD, Amien kecil bercita-cita menjadi walikota. Cita-cita ini sangat dipengaruhi oleh kekagumannya pada Muhammad Saleh yang menjabat Walikota Solo waktu itu. Muhammad Saleh adalah seorang muslim yang taat. Ia sering memberikan pengajian di Balai Muhammadiyah Solo. Walikota asal Madura ini sangat dihormati dan dicintai oleh rakyatnya. Namun setelah SMA, cita-cita Amien berubah. Ia ingin jadi duta besar. Mungkin cita-cita ini yang ikut mempengaruhinya untuk memilih jurusan hubungan internasional ketika memasuki perguruan tinggi.
Prinsip hidup yang jadi pegangan-nya sangat sederhana, yaitu mencari ridha dan ampunan Allah. Untuk mencapainya, orang harus berbicara dan berbuat apa adanya. �You are what you are,� katanya suatu ketika.
Ia membagi kebahagiaan menjadi tiga jenis, yaitu kebahagiaan spiri-tual, kebahagiaan intelektual, dan kebahagiaan psikologis. Kebahagia-an spiritual diperoleh dengan cara menjalani hidup sesuai dengan rel agama. Kebahagiaan intelektual diperoleh dengan cara memberikan konstribusi pemikiran kepada masyarakat. Sedangkan kebahagiaan psikologis didapatnya bila ia bisa berbuat atau menolong orang lain.
Amien menikah pada 9 Februari 1969, dengan gadis yang sudah dikenalnya sejak masih sama-sama kanak-kanak, Kusnasriyati Sri Rahayu. Selama sepuluh tahun pertama pernikahan mereka belum dikaruniai anak, meskipun sudah berkonsultasi dengan banyak dokter spesialis kandungan di Solo, Yogya, bahkan ketika berada di Chicago. Sampai suatu saat mereka berdua naik haji ke Makkah.
Di depan Ka�bah mereka berdua memanjatkan doa, memohon kepada Allah agar diberi keturunan. Waktu itu mereka sedang melakukan penelitian di Mesir. Setelah kembali ke Kairo, dua bulan lebih sang istri tidak dikunjungi tamu rutin bulan-an. Bahkan ada yang aneh: perutnya terasa gatal-gatal. Akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke dokter kandungan. Dan hasilnya positif, sang istri dinyatakan hamil.
Bagi mereka berdua, kejadian itu merupakan mukjizat dan karunia Allah semata. Setelah anak yang pertama lahir, selanjutnya setiap dua tahun sang istri hamil lagi. Mereka dikaruniai lima orang anak, tiga putra dan dua putri. Nama-nama mereka diambil dari Al Qur�an dan dikaitkan dengan kenangan dan peristiwa yang menyertai kelahiran-nya. Anak pertama diberi nama Ahmad Hanafi, kemudian Hanum Salsabiela, Ahmad Mumtaz, Tasnim Fauzia, dan si bungsu Ahmad Baihaqy.
Kusnasriyati adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Untuk mengisi kesibukannya, ia mendirikan Taman Kanak-Kanak [TK] di sebelah rumahnya. Karena ketekunannya, TK ini kemudian menjadi besar dan terkenal. Ia juga membuka kedai sederhana yang diminati banyak mahasiswa. Dilihat dari penampil-annya yang sederhana, termasuk gaya bicara yang sederhana, ia tidak beda dengan ibu rumah tangga lainnya. Tetapi, di mata Amien Rais, ia adalah wanita luar biasa.
Keberanian dan ketegaran yang dimiliki Amien Rais ternyata tidak lepas dari peran sang istri. Suatu saat, ketika diinterviu seorang wartawan Jepang, saya melihat dengan nada bangga Amien Rais mengatakan, �Istri saya mungkin merupakan wanita terbaik se-Asia Tenggara.� Komentar tersebut mungkin terasa berlebihan bagi kebanyakan orang, tapi tidak bagi Amien Rais. Ia pernah menceritakan bahwa ketika studi di Chicago, karena beratnya beban kuliah yang dihadapi, hampir saja ia putus asa. Untung ada sang istri yang terus-menerus memompa semangatnya.
Begitu juga ketika ia merasa lelah saat melawan Orde Baru, istrinya tidak pernah lelah untuk memba-ngunkan kembali spiritnya. Sampai-sampai ia pernah mengomentari istrinya sebagai sumber inspirasi dan motivasinya. Bahkan menjelang tumbangnya Soeharto, sempat tersebar isu bahwa Amien Rais akan ditangkap. Ia kemudian memberi tahu sang istri tentang berita buruk yang akan menimpanya. Dengan nada tegar sang istri menjawab, �Insya Allah ini akan mempercepat kejatuhan Rezim Soeharto.�
Bila Allah mengaruniainya umur panjang, di masa tuanya nanti Amien hanya ingin melihat anak-anaknya bisa menyelesaikan pendidikannya masing-masing. Sementara ia sendiri ingin mengisi masa tuanya dengan menulis dan memberikan pengajian. Amien merujuk pada almarhum A.R. Fachruddin dan ibunya sendiri yang sampai akhir hayatnya masih memimpin Sekolah Keperawatan Muhammadiyah di Solo.
Pendidikan
Pendidikan dasar Amien juga diperolehnya dari yayasan pendidi-kan yang dikelola Muhammadiyah. Dengan latar belakang yang sangat kental demikian, tidak heran bila kemudian ia tampil sebagai salah satu aktivis Muhammadiyah, yang kemudian menjadi ketuanya.
Pendidikan Amien Rais, mulai dari TK sampai SMA, semuanya dijalani di sekolah Muhammadiyah, di kota kelahirannya, Solo. Menurut Amien, karena kecintaan sang ibu pada sekolah Muhammadiyah, maka seandainya ketika itu sudah ada perguruan tinggi Muhammadiyah, pasti ibunya akan memintanya untuk kuliah di situ. Sekolah Dasar diselesaikan tahun 1956, kemudian SMP pada tahun 1959 dan SMA pada tahun 1962. Di samping sekolah umum, ia juga mengikuti pendidikan agama di Pesantren Mamba�ul Ulum. Ia juga pernah nyantri di Pesantren Al Islam.
Pendidikan tinggi dijalaninya di Fakultas Sosial Politik Universitas Gajah Mada di Jogjakarta. Keinginannya waktu itu menjadi diplomat. Setelah lulus di tahun 1968, ia sempat setahun menjalani penelitian di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, sebagai siswa tamu. Kemudian ia melanjutkan studinya ke Notre Dame Catholic University di Indiana, Amerika Serikat.
Setelah tamat SMA, ibunya meng-inginkan Amien melanjutkan studi-nya ke Al-Azhar, Mesir. Sementara ayahnya lebih memilih Universitas Gajah Mada [UGM]. Amien tampak-nya lebih cocok dengan pilihan sang ayah. Ia kemudian diterima di dua fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi dan Fisipol UGM. Ia lalu berkonsul-tasi dengan sang ayah, mana fakul-tas yang lebih baik untuk dipilih. Sang ayah menyerahkan kembali pada Amien untuk memilihnya. Akhirnya ia memilih Fisipol.
Mungkin untuk tidak mengecewakan harapan sang ibu, Amien juga kemudian mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri [IAIN] Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kuliah paralel ini dijalaninya sampai munculnya larangan kuliah ganda oleh pemerintah.
Tahun 1968 Amien menyelesaikan studinya di UGM dengan tugas akhir berjudul Mengapa Politik Luar Negeri Israel Berorientasi Pro Barat. Ia lulus dengan nilai A. Kemudian melanjut ke pascasarjana di University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat, yang diselesaikan tahun 1974 dengan gelar MA. Tesisnya adalah mengenai politik luar negeri Anwar Sadat yang waktu itu sangat dekat dengan Moskow. Itu sebabnya Amien juga harus mendalami masalah komunisme, Uni Soviet dan Eropa Timur.
Minatnya yang sangat besar dalam masalah Timur Tengah tetap tumbuh. Setelah pulang ke tanah air sebentar, ia kembali lagi ke Amerika untuk mengikuti program doktor di University of Chicago, AS dengan mengambil bidang studi Timur Te-ngah. Tahun 1981 ia berhasil meraih gelar doktor, dengan disertasi berjudul: The Moslem Brotherhood in Egypt: Its Rise, Demise and Resurgence [Ikhwanul Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan, dan Kebangkitannya Kembali].
Penelitian untuk menyusun disertasinya dilakukan di Mesir dalam waktu sekitar satu tahun. Selama berada di Mesir, waktunya dimanfaatkan juga untuk menjadi mahasiswa luar biasa di Departemen Bahasa Universitas Al Azhar, Kairo. Tesis ini semakin memperkokoh kedudukannya dalam lingkup cendekiawan muslim di Indonesia.
Ada cerita cukup menarik tahun 1972 selagi kuliah di Amerika Serikat. Amien sering menjejalkan enam kaset lagu-lagu langgam Jawa gubahan dalang kondang almarhum Ki Narto Sabdo bersama sembilan kaset dagelan (almarhum) Basiyo di antara buku-buku di kopernya. Istrinya, Ny Kusnasriyati menyiap-kan bekal kaset itu untuk pengobat rindu di perantauan.
�Kalau sedang sumpek, kangen Tanah Air, rindu keluarga di rumah, saya memutar kaset-kaset itu berulang-ulang. Justru di negeri orang itu saya jatuh cinta membangun hubungan batin dengan gamelan, lagu langgam Jawa, dan gamelan,� tutur Amien Rais.
Kegemarannya dengan langgam Jawa itulah yang mendorongnya merekam sendiri suara dan menyanyikan lagu-lagu yang disukainya. Lagu-lagu itu kemudian dikemas dalam album VCD berjudul Campur Sari Reformasi.
VCD ini berisi videoklip tayangan Amien Rais dan Ny Kusnasriyati menyanyikan lima lagu gubahan Ki Narto Sabdo dalam irama yang sekarang diistilahkan �campursari�. Ketika rekaman dimulai, mengambil tempat di rumahnya, di Solo, Amien mengaku menghadapi kesulitan. Sebuah lagu, Mbok Ya Mesem (Tersenyumlah) direkam berulang-ulang sampai dua setengah jam lamanya.
�Setelah cukup pengalaman, tiga lagu terakhir direkam hanya dalam dua jam. Dibandingkan penyanyi profesional, pasti cara saya membawakan lagu itu menimbulkan tertawaan. Tapi, untuk ukuran penyanyi amatiran seperti saya, kelihatannya cukup-lah,�
Sumber : TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar